rangkaian_kisah

Friday, May 21, 2004

Buku Harian Mimin

Aku membenci malam seperti aku membenci ibu, aku membenci malam seperti aku membenci diriku, tapi malam ini aku mencintai ibu seperti aku mencintai kebebasanku.
Rumahsetan, 13 januari 2004

***
Hari yang membosankan, seperti tak ada kata-kata lain yang dapat mengisi kepalaku, laki-laki basi datang dan pergi memasang gergaji di kemaluanku, mulut sudah jadi tawar dari keinginan untuk memiliki diri sendiri, pikiran begitu sibuk oleh gincu, bedak, lulur dan minyak wangi, mengapa semua ini mesti ditumpahkan padaku, sedang badan tak punya tempat buat angan-angan? Hasrat yang lelah untuk berbagi dari diri yang asing, dan aku demikian rindu pelukan ibu…oh ibu, kenapa kau berhenti jadi ibuku? Kenapa?.
Pikiranku mendengung oleh bunyi televisi yang membeku dan kemarahanku gemetar mengusir mimpi dan harapan seperti pompa air yang mengalir lewat pipa-pipa yang kosong, menyumbat hidung, menyumbat tenggorokan, menyumbat dada, menyumbat perut, menyumbat kemaluan, menyumbat wastafel dan jamban juga. Sudah habis tangisku dari hari pertama ibu menjual permataku kepada laki-laki yang bukan kekasih hatiku. Batin jadi begini rapuh ingin menyakiti diri sendiri, dan mulut pun makin kering, tawar oleh hasrat hidup yang padam. Hanya angan-angan yang melayang sepi sendiri kemana saja asal bukan rumah, rumah yang penuh bau mayat, rumah orang-orang mati, tapi biar hasrat ini tandas aku akan tetap tegak berdiri sampai dendam ini terbalas.
Rumahsetan, 7 Januari 2004

***
Kubaca tangisku selebar majalah misteri yang sudah lama basi, memberiku sejenis bacaan perintang waktu sambil menunggu kedalaman masa demikian beku. Apalah nikmatnya menunggu laki-laki yang itu-itu juga? Mereka tak peduli dengan hatiku, mereka cuma peduli tubuhku dan aku juga tak peduli siapa mereka, aku cuma butuh uang buat menyumbat mulut-mulut zombie yang rakus di rumah setan ini.
Sesungguhnya aku telah terpedaya oleh tipu muslihat ini, setiap menghadapi wajah-wajah beku para lelaki brengsek yang menciumi tubuhku aku telah jadi orang lain. Setiap kali harus kupasang topeng kepalsuan di wajah resahku, dan menjalani siksaan demi siksaan sebagai sebuah rutinitas yang membelenggu diri. Detik-detik menjelma lonceng yang akan menguburku hidup-hidup. Aku cuma bisa menumpahkan perih dan pedihku pada lubang closet yang menganga. Betapa ingin kuhajar wajah-wajah beku itu dan kutikam jantung ibuku dengan kata-kata paling mesum, tapi apalah artinya kata-kata kalau hatiku meradang oleh gigitan benci.
Rumahsetan, 8 Januari 2004

***
Malam ini telah kutetapkan hati, sekali pun jiwaku tercekik oleh perasaan was-was. Setan telah mencengkeram leherku seperti hantu kematianku sendiri, aku sudah menandatangani perjanjian dengannya yang tak dapat kucabut kembali. Di bawah bayang-bayang malam aku berjalan seperti terbawa mimpi, tonggak-tonggak batu di atas tangga menuju kamar ibu telah jadi sekumpulan gergasi yang menyemangati diriku. Kebebasan! Saat ini adalah penemuan kembali arti kekecewaan, dia yang selalu menyebutku babi! anjing! atau sampah tak berguna! Benih-benih kemarahan telah tumbuh lebat di kepalaku menjelma sulur-sulur liar yang tajam melibas, menyadap semua api dendam yang memenuhi relung-relung kebencian.
Rumah setan ini telah jadi kuburan yang resah, angin khianat menggigit gelisah menusuk-nusuk kepalaku serasa mau pecah. Aku sudah muak dengan rumah ini, juga dengan kongkalikong busuk yang membuatku terikat dengan rumah setan ini, dan hantu-hantu kian merajalela, dengar saja nyaring tawanya, meleleh nafsunya, dan luar biasa menyebalkan tingkah polahnya, aku sudah muak! aku sudah muak! tapi mengapa tanganku menggigil begitu hebat?
Rumahsetan 12 Januari 2004

***
Bebas! teriakan garang melewati kamar ibu yang berkarat dan bau amis darah yang menodai tangan dan gaunku, sekali lagi bebas! Aku tak peduli erangan hantu-hantu menyerbu telingaku, memenuhi lantai atas dengan dengus kelojotan malam yang tengah sekarat dan dua pasang mata bapak yang rapuh, penuh tanda tanya dan kengerian. Mengapa masih ada yang belum tidur di malam selarut ini, bangsat sialan!
Persetan dengan mata bapak yang menggigil bisu di depan pintu dan asap dari api neraka yang membuat kepalaku nanar, aku sudah terlanjur menikam malam dengan pisau dendam yang paling tajam dan aku tak pernah menyesal, karena aku sudah merdeka! Biar aku terbahak, terbahak sekencang-kencangnya. Aku belum pernah tertawa sepuas ini, karena semua orang tak berhak lagi mengungkung kebebasanku, tidak juga bapak! dan para lelaki bajingan itu!
Setiap tetes darah yang kureguk dari jantung ibu, adalah tetes air susu yang tak pernah kureguk, mata yang garang menetak kepala, wajah, dada, payudara, dan kemaluanku. Bilur-bilur penat yang tak pernah menyuruhku berhenti kerja melayani segala macam laki-laki. Bahkan saat malam sekarat, masih saja ia malas menerjemahkan gelap dan di setiap erang kematiannya kunikmati orgasme erangan semua laki-laki dalam setiap tetesan duri-duri yang ia tumpahkan ke dalam rahimku.
Aku membenci malam seperti aku membenci ibu, aku membenci malam seperti aku menbenci diriku, tapi malam ini aku mencintai ibu seperti aku mencintai kebebasanku.
Rumahsetan, 13 januari 2004

***
Bapak bukan siapa-siapa, selama perih pedih hidupku ia tak pernah menerakan jejaknya di lembaran catatanku, ia tak pernah menunjukkan dirinya sebagai apa atau siapa, ia tak lebih kecoa yang lari setiap mata garang ibu mendelik, dan ia tak lebih dari parasit yang cuma bisa kerja kalau disuruh. Dan setiapkali ibu melecut punggungku atau menampar mukaku ia hanya diam terpaku di pojok kamar dengan wajahnya yang membatu, atau paling jauh ia akan pergi ke dapur, dan entah apa yang dilakukannya di sana.
Tapi semalam entah apa yang dipikirkannya, ia menuntunku ke kamar mandi dan mengguyurku dengan berpuluh-puluh gayung air setelah melucuti gaun penuh noda darah yang aku kenakan dan membakarnya di belakang rumah. Dan pagi ini aku terpaksa sekali lagi harus mencatat namanya sebagai bapakku, sebelum polisi datang ia pergi menyerahkan diri sambil membawa bungkusan parang sebagai bukti. Aku cuma meraba-raba apa yang sedang ia pikirkan, karena sebelum berangkat ia hanya mengucapkan sepatah kata bahwa ia akan menanggung semua dosa-dosaku. Tak ada kata perpisahan keluar dari bibirnya, entahlah aku tak tahu apakah aku harus berterimakasih atau justru harus membencinya.
Rumahsetan, 14 Januari 2004

***
Apa yang aku lihat di jendela? Apakah Ibu sudah menjelma setan? Waktu menjelaga di bingkai kaca, malam buta membuat gerimis, ada mata merah yang marah di beranda menangisi sepotong jari kelingkingnya yang hilang… dan aku cuma bisa tertawa, karena telah kumiliki kembali tanda mata paling permata cincin mirah kekasihku, seluruh hasil jerih payahku.
Rumahsetan, 15 Januari 2004

***
Entah mengapa aku tiba-tiba mengingat bapak yang menangis lagi setelah lama tak kuhampiri, mungkin ia sedang menangis juga sekarang dalam kurungan penjara, seperti ingin mengubur ibu buat kedua kali. Aku jadi naik pitam, seharusnya aku yang jadi lelaki di rumah ini dan bukan bapak. lelaki impoten! lelaki paling pengecut yang pernah kukenal. Biar tahu rasa dia membusuk dalam penjara.
Rumahsetan, 16 Januari 2004

***
Tanggal 17 Januari 2004, polisi menemukan sepotong jari dan sebuah cincin yang bebercak noda darah kering, terbungkus sebuah sapu tangan warna merah dan sebuah buku harian bersampul kulit warna hitam dalam lemari di kamar Mimin. Hari itu juga di bawah tatap mata para tetangganya di kompleks pelacuran, Mimin di bawa petugas ke markas polisi untuk menjalani pemeriksaan.
Seseorang dalam kerumunan orang ramai masih sempat berkata pada teman di sebelahnya, “Dasar pelacur, masih juga tega membunuh ibu sendiri!”

Jakarta 8 April 2004





Perahu Kertas

Aku menyusuri tepi jalan menuju rumah kostku, beberapa kali kendaraan mewah melintas tak mengacuhkan rembulan sungsang di puncak malam. Di depan persimpangan masuk ke dalam gang yang sempit dan becek kudengar suara desah yang menghuni warung-warung kumuh dan orang-orang yang sibuk berlalu lalang berebut mengisi piring dan gelasnya dengan semacam kepuasan semu lalu mereka menyantapnya seperti anjing yang kelaparan. Aku tak tahu apa yang mereka cari selain harapan dalam setumpuk kartu ceki yang mereka banting di meja sejak sore gerimis Ada juga yang menenggak arak kezaliman dan mengosongkannya sampai tandas bersama bangku-bangku reyot yang mabuk darah
Dari tembok-tembok berlumut sepanjang gang itu masih kudengar suara desah barangkali erangan seorang perempuan entah nikmat entah kesakitan dan di depan persimpangan gang terakhir menuju rumah kost tempat aku tinggal aku melihat Ratri berdiri dengan gaya menantang, tangannya melambai pada seorang laki-laki yang tengah melintas, “Hei, apakah kau punya duit, ayolah nggak mahal kok?” serunya sebasah gerimis ditelingaku
Aku menghentikan langkahku untuk menatap wajahnya yang terlihat samar di bawah temaram lampu pinggiran jalan. Ratri, gadis itu tetangga yang tinggal di sebelah kamar kostku berwajah manis menawan dengan bibir merah maroon, tubuhnya yang sintal melenggok gemulai menonjolkan gerak buah dadanya yang penuh dalam balutan tanktop warna merah muda, dan ia tak malu mengakui dirinya lebih cantik dari rembulan di langit kelam. Gigi putih itu kembali tertawa pada laki-laki yang melintas dan sejenak berhenti “He ayolah, kau pasti punya duit kan?” tanyanya lagi, “Kau tentu tahu, aku lebih mengenal lelaki dari siapa pun!” serunya dan kemudian ia mengerling sekilas sambil menarik tangan lelaki itu, “Boleh di kamarmu, atau di mana saja juga boleh…” dan ia tertawa renyah, tak memberi sedikitpun kesempatan pada laki-laki itu untuk menawar. Lelaki setengah baya itu menurutkan langkah Ratri seperti seekor kerbau dicucuk hidung seolah telah dipenuhi hasrat untuk melumat bibirnya yang kemerah-merahan.
Aku tahu gerak pinggulnya begitu menggelitik, goyang dada itu begitu menggoda sehingga hasrat siapa pun pasti akan segera menjadi lumer oleh manis senyumnya dan wajahnya yang putih tersipu sekilas berlagak seperti anak gadis baru kemarin sore yang telah lama dipingit, sebuah sikap yang pasti akan meruntuhkan hati setiap lelaki. Lelaki sepertiku juga, sekali pun aku tahu pasti bahwa Ratri tengah mengenakan topeng yang sama sekali berbeda dari kesehariannya. Tak semua orang tahu bahwa dibalik renyah tawanya sesungguhnya ia tak pernah merengkuh kebahagiaan, setidaknya itu yang bisa aku baca dari kehidupannya sehari-hari, dan orang yang mengenal Ratri pasti akan mengenali pula nada kegetiran itu dalam suaranya yang sumbang.
Kudengar kembali suara Ratri yang tertawa cekikikan, “Ya..ya, aku mendengar kau, aku mendengar kau bernyanyi seperti sajak.” Begitu lagaknya merayu calon mangsanya, dan lelaki mana yang tidak melambung oleh gaya tertawanya yang merangsang.
Dalam kenyataan siang hari Ratri bukanlah gadis seronok yang senang menggoyangkan pinggulnya mengikuti iringan irama musik dangdut dari radio penjaja rokok di sudut jalan, tapi bagaimanapun harus kuakui bahwa dompet siapa pun akan bergetar setiap kali ia mengerling, dan pada setiap laki-laki ia akan berkata malu-malu “Aku seorang perempuan tulen! Hei…serius jangan tertawa!” katanya, dan wajahnya akan tampak semakin cantik saat pura-pura mendelik marah.
Dan para lelaki yang telah terpukau oleh jerat yang ditebarkannya akan turut tertawa seperti ringkik kuda, berebut menghirup nafasnya, menghirup kerlingnya, harum rambutnya, tubuhnya juga. Dan dari kejauhan aku berdiam diri memandangnya dengan memendam sepotong rasa nyeri yang lindap ke dalam dadaku sampai kemudian kulihat ia berlalu bersama sebuah mobil yang tiba-tiba berhenti di persimpangan jalan. Ratri pergi bersama seseorang entah siapa, dan berlalulah pula sepotong bibir indah berwarna merah maroon dari hadapanku, meninggalkan sepotong kesedihan menggenang dalam sudut hatiku.
Masih ada bayangan Ratri dalam hirup nafasku, juga dadanya yang padat, juga pinggulnya yang penuh, kerling matanya dan bibirnya yang kemerah-merahan tertawa, demikian renyah demikian merdu berlagu di telingaku, “Hei aku seorang perempuan tulen!”
Entah mengapa aku jadi disergap melankoli, sebuah rasa simpati untuk gadis itu, karena aku tahu dibalik senyumnya ada kepedihan yang harus ia kunyah setiap malam dan tak mungkin tersapu oleh gerimis yang tiba-tiba turun. Barangkali ia pun berpikir betapa mudahnya menangkap seekor kumbang dan menyimpannya di balik kutangnya yang ketat dan terus saja berpura-pura bahagia. Dan telingaku jadi berdenging, seolah masih kudengar gaung renyah tawanya, sekali pun sesungguhnya aku tahu tawa itu demikian sumbang, sesumbang kepedihan yang harus ia jalani setiap kali menghitung rupiah demi rupiah dari sisa kondom di tempat sampah.
***
Baru saja kubayangkan Ratri menggumuli aibnya sendiri pada gumpalan sejarah peradaban paling purba, dan anganku begitu liar menggelitik resahku di atas tikar lusuh di dalam kamar kostku yang pengap, dan di setiap desah nafas terbayang tubuh Ratri seperti tak sanggup berhenti, gelisah menggapai hasrat meraih sisa-sisa kenikmatan yang segera terlupa dari ingatan. Nafas laki-laki di sampingnya bau arak meresap pada tubuh telanjangnya yang bersimbah peluh dan degup darah pesta pora melupakan luka-luka dan duka yang mengucur di setiap gelas menumpahkan bayang kemabukan. Adakah ia sadari hatiku jadi begitu kosong, begitu kering lupa pada sepotong hati semurni tawa kanak-kanak yang termangu di balik pintu berusaha keras terjaga mencoba menangkap kembali setiap detak waktu yang berlalu dari jam dinding yang sudah lama mati.
Apakah ia tahu aku telah lama menunggu, di belakang pintu dan menyeru-nyeru namanya dalam hatiku, tapi bagaimana caraku agar ia mau berpaling? apakah telah hilang jiwanya dalam genggaman tangan iblis? Ya...sang iblis sendiri! yang mencengkeram lehernya dengan kuku-kuku yang kotor sambil menjilat-jilat luka hatinya yang membusuk di 7 liang.
Dunia di luar sekilas memang tampak masih gemerlap dengan hingar bingar musik pembuat lupa dan aku tahu ia akan menelan semua harga dirinya bersama pil-pil laknat itu, bahkan mungkin ia tak peduli iblis suntikkan racun ke dalam jantungnya…sekian lamanya ia berhenti berdegup. Tidakkah ia tahu aku lama berdiri di situ di belakang pintu sambil menyeru-nyerukan namanya tapi telinganya membatu oleh riuhnya musik pembuat lupa, aku begitu tenggelam dalam ketidakberdayaan, bungkah-bungkah hasrat dalam rabun mataku. aku tahu ia telah teperdaya dan aku lihat sendiri bagaimana neraka mencuri benaknya, merajam jantungnya, meremukkan tubuhnya. Iblis telah menyedot habis kebeliaannya, kegadisannya, dan harga dirinya sampai tandas! tapi oh apa dayaku? Aku cuma seorang laki-laki pengecut, mahasiswa pengangguran yang jatuh cinta pada seorang pelacur…oh Ratri apakah kita memang ditakdirkan berakhir seperti ini!
Tidakkah ia sadari jelaga telah mengotori dirinya dengan warna malam, apakah arti hidup kalau hati jadi begitu kosong dan tanpa daya? ingin rasanya kuseret Ratri pergi dari tempat kemunafikan ini, tapi apa bedanya ia dengan diriku? sedang aku pun menghasratkan dirinya hanya untuk diriku sendiri. Aku ingin terlepas dari belenggu perasaan ini, mengeringkan darahku sendiri dan mengisinya kembali dengan darah bayi yang masih murni. Cintaku pada Ratri telah membuatku hilang akal.
Apakah demikian pula yang Ratri rasakan, aku sering mendengar orang berseru-seru di telingaku tapi tak kutemui satu jasad pun di luar sana, dunia yang kejam tak berperasaan, dan aku merasa begitu kesepian! Oh Ratri tidakkah kau jijik pada para lelaki yang berkubang dalam kemaluanmu mereka toh tak lebih berharga dari dirimu, yang mereka kerjakan hanyalah mengisi dirimu dengan semacam roh kemunafikan menyihirmu dengan kenikmatan anggur dan nasib yang tiada berkepastian, dan engkau makin jauh tersesat sendirian lupa jalan pulang ke rumah! Oh Ratri justru oleh jelagamu aku menjadi begitu kosong dan tanpa daya menanti hari-hari yang akan remukkan kepalaku dengan pecahan genting dan batu-bata
Setiap kali aku pulang ke rumah kost duniaku serasa merapuh, runtuh perlahan jadi serpihan puing-puing mimpi, angan dan tubuh yang bukan lagi milikku. Aku tak lebih dari tanah gersang yang rindukan hujan, segenggam pasir kering yang hasratkan cinta atas seorang penjaja cinta. Hidup tak ubahnya dedaunan yang berlepasan dari tangkainya terbawa angin musim, kehendak yang ingin lepas dari waktu yang membelenggu. Demi sekeping doa di ujung bibirku, aku ingin bebas dari perasaan cintaku pada gadis itu, lepas dari kungkungan jiwa yang papa, bayangan hidup Ratri yang begitu getir, hasratnya menyakiti diri sendiri, dan keangkuhanku yang tak hentinya memperkosa nuraniku sendiri. Dan aku cuma bisa menangis, merutuki kebodohan diri sendiri sebagai bocah cengeng yang menangisi cinta tak sampai dan di luar sana Ratri berjuang sendiri saja…oh Ratri bahkan aku tak lebih mulia darimu.
Kalau aku coba renungkan bahwa cuma kejalangannya yang bersisa, tapi cuma itulah satu-satunya tali nafas yang membuatnya mampu menyambung hidup sekalipun dalam lumpur yang semakin dalam membelit. Bagaimana aku harus melepaskan dirinya dari belenggu dosa-dosa itu sedang aku tak sanggup memungkiri lecutan rasa pedih di hati? Haruskah aku biarkan perasaan cinta ini menghantui diriku selamanya? Tidak, oh demi Tuhan…aku tahu Ratri tak butuh dimengerti! Aku tahu Tuhan pun mungkin tak peduli pada penderitaannya. Telah begitu lama ia resapi sendiri dera rasa sakit itu, dan ia tampak semakin tak peduli, seolah tiada satu pun yang membuatnya malu sekalipun semua orang memaki dirinya sundal! sundal yang hidup dalam kebohongan, Nymphomaniac yang sombong mengangkangi hidup dengan mengais-ngais sisa harkat di tengah reruntuhan puing-puing mimpi.
Ia terima semua tikaman pisau itu dengan sebuah senyuman, seolah ia menyadari dirinya cuma seorang wanita dengan jiwa terbelah, dan apalah arti sebuah senyum dari bibirnya? Seperti setiap kali kutangkap pedih senyumnya tak ubahnya senyum mayat yang beku, karena sesungguhnya jiwanya telah lama mati merana tanpa mengenal makna cinta, dan aku membenci diriku sendiri karena tak sanggup mengulurkan tanganku untuk menolongnya. Oh Ratri, aku begitu pedih oleh ketidakberdayaan!
Aku pernah bertanya pada diriku sendiri pilihan apa yang ia punya dengan semua celaan dan hinaan yang harus ia tanggungkan, tanda yang sudah terlanjur melekat di dada…menoreh begitu dalam. Lalu kepedihan itu… seperti perahu kertas yang rapuh dan perlahan-lahan tenggelam. Betapa sulitnya menggantungkan harapan pada seutas benang keimanan dan selaput tipis kehormatan. Tapi tak tahukah engkau Ratri bahwa aku mencintaimu? Bukan cinta sembarang lelaki yang hanya menghasratkan tubuhmu. Tak tahukah engkau bahwa setiap malam aku harus menahan kepedihan siksa batin membayangkan kehormatanmu dilucuti dan tubuhmu digerayangi puluhan laki-laki. Aku terombang-ambing antara cinta dan kebencian. Bukannya aku tak punya keberanian atau tak cukup uang untuk mendapatkan dirimu, tapi bukan itu yang aku inginkan aku inginkan dirimu sebagai seorang wanita yang utuh, tapi batinku terus saja bergelut antara cinta dan kebencian antara hasrat memiliki dan perasaan benci atas profesi yang engkau geluti.
Gejolak perasaan yang berkecamuk dalam diriku membuatku tertidur dalam bayangan mimpi buruk sampai kemudian pukul 23.35 Ratri mengetuk pintu kamarku dan menyerahkan sebungkus bakmi hangat ke dalam tanganku sebelum ia kembali ke kamarnya sendiri dengan seorang laki-laki yang tak pernah kukenal sebelumnya, dan dengan perasaan marah segera kubuang bungkusan itu ke dalam bak sampah, semata-mata karena aku tak ingin menelan harapan, sekalipun hatiku menggigil oleh bau bakmi yang wangi dan ususku berteriak oleh sergapan rasa lapar yang tiba-tiba menyentak.
Dan Ratri masih saja menyimpan kejalangannya dibalik kutang dan celana dalam warna-warni yang sengaja digantungnya pada tali jemuran di depan kamar kami, seolah mengejek kerapuhan hatiku yang menghasratkan tubuh sintalnya namun hasrat itu tak pernah sekalipun terlontar dari mulutku. Namun deraan nafsu sungguh serupa iblis yang teramat keji, menyelipkan desah di seluruh permukaan dinding triplek yang menyekat kamar kami, menyiksa batinku demikian hebat dalam deraan malam sepi pada saat-saat membekukan jantung, tulang-tulangku jadi begitu ngilu juga kuping dan hatiku yang lapar membeku dalam gairah yang tak kunjung sampai. Dalam gelora siksa demikian dahsyat aku beranjak ke luar kamar menuju kamar mandi di belakang rumah. Pada malam-malam buta itu kuguyur seluruh tubuhku dengan air dingin dan kutelan sekilo sabun di kamar mandi yang lembab berlumut sampai aku tak sanggup berdiri lagi.

April 2004

0 Comments:

Post a Comment

<< Home